Kamis, 01 Januari 2015

Matematika dan Al-Qur'an



The Important of Mathematics Knowledge
and the Relation with Al-Qur’an
            Dalam era global ini terjadi pergeseran paradigma dalam peradaban manusia menuju masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge bassed society). Pergeseran paradigma tersebut berimplikasi pada pergeseran paradigma pembangunan Negara di dunia termasuk di Indonesia. Sains dan teknologi merupakan unsur utama dalam kemajuan peradaban manusia menuju terbentuknya masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam hal ini, Sains dan teknologi yang berkembang pada saat ini membuat manusia menjadi penguasa tunggal dijagad raya ini. Pada sebagian orang mengatakan bahwa tidak ada kaitan sains dan teknologi itu dengan adanya kekuasaan Tuhan. Semua proses berlangsung sesuai dengan kehendak alam.
            Kehendak alam akan berlangsung sesuai dengan prosedur yang ada, dan akan dipengaruhi hanya oleh materi dan lingkungan. Ketika ada pertanyaan “why should the universe work well enough to make the processes of evolution possible?” bagi umat islam untuk menjawab persoalan ini ada suatu pegangan, yaitu Al-Qur’an, Hadis dan kemampuan rasio, yang tidak lari dari akidah bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang memuat petunjuk bagi umat manusia dan yang melahirkan Islam yang ­rahmatan lil’alamin. Perkembangan  pengetahuan kadang-kadang membuat manusia lupa bahwa diluar kemampuannya ada yang lebih mengetahui dan Maha Kuasa. Bagi umat Islam kesadaran untuk memiliki iman dan bertakwa dan pentingnya sains dan teknologi itu berkaitan erat dengan keyakinan terhadap Al-Qur’an yang telah diwahyukan serta pemahaman mengenai kehidupan alamsemesta yang diciptakan.
            Dunia tanpa batas (worl bourderless) saat ini mengisyaratkan umat Islam harus peka dan tanggap terhadap isu-isu aktual dan faktual yang berlangsung saat ini. Pada hakikatnya perkembangan sains dan teknologi tidak bertentangan dengan agama Islam. Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan dasar sains dan teknologi dalam Islam. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita membaca, meneliti, mengkaji, dan membahas dengan kemampuan intelektual. Surat ini meransang daya kreativitas manusia untuk selalu berinovasi, mengembangkan keimanan dengan rasio dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan menulis (memperdalam sains dengan meneliti) menjadi suatu keberhasilan suatu penelitian atas ridho Allah.
            Ada banyak kebenaran ilmiah yang diapaparkan dalam Al-Qur’an yang bertujuan untuk memaparkan Kebesaran Tuhan dan Ke-Esaan Tuhan, serta mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian dalam rangka menguatkan rasa keimananan dan kepercayaan. Al-Quran tidak meninggalkan sedikit pun dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pokok Al-Qur’an yang mencakup segala ilmu pengetahuan.
            Upaya manusia untuk mendapatkan pengetahuan diawali dengan upaya memahami alam. Upaya tersebut dimulai dengan upaya mengenali warna, bentuk, kadar yang terdapat pada objek-objek dan makhluk-makhluk yang ditemui manusia. Bentuk awal pengetahuan manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka dapatkan dari lingkungan hidup mereka. Manusia selalu berupaya meningkatkan pemahamannya tentang pengetahuannya. Pemahaman yang dilakukan secara terus menerus menjadi kian mendalam dan meluas sehingga mendorong munculnya ilmu-ilmu lain. Jika manusia telah akrab dengan bentuk dan bilangan pada awal pemahamannya tentang alam, maka pengertian tentang bentuk dan bilangan berasal dari alam. Dengan kata lain manusia telah mengenal “bentuk konkret” dan “bilangan konkret”, bukan “bentuk abstrak” dan “bilangan abstrak”.
            Pengenalan mengenani bentuk dan bilangan tersebut sangat bermanfaat untuk mencapai tahap perkembangan intelektual mereka. Dalam hal ini manusia mampu menilai secara universal tunggal berdasarkan banyak gagasan dari pengalaman berkaitan dengan objek-objek yang memisahkan antara bentuk kaarakteristik dan kualitas suatu objek. Manusia juga mencipatakan konsep—konsep yang jelas untuk bentuk dan bilangan. Konsep-konsep ini terbentuk dari adanya objek yang telah diamati. Berkat keinginan untuk selalu meningkatkan kemampuan dengan meneliti, mengakaji dan membaca serta segala kreativitas yang dimiliki manusia menciptakan bilangan-bilangan matematis dan bentuk geometrik dan memulai untuk mengkaji lebih dalam lagi.
Ada petuah yang sangat berharga mengenai pentingnya penguasaan bahasa, yaitu “jika ingin mengenal suatu bangsa, kuasailah bahasanya”. Petuah ini mempunyai arti bahwa jika kita ingin mengenal, memahami, atau bahkan berdialog dengan suatu bangsa, baik manusia maupun binatang, maka kuasailah bahasanya. Jika kita ingin berdialog dengan orang Inggris, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Inggris. Jika kita ingin berdialog dengan orang Malaysia, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa melayu. Jika kita ingin berdialog, mengerti, atau memahami ayat-ayat Qualiyah, yaitu al-Qur’an, maka kuasailah bahasa Arab. Lalu, jika kita ingin berdialog, mengerti, atau memahami  ayat-ayat kauniyah, yaitu alam semesta,  jagad raya dan isinya, maka bahasa apa yang harus kita kuasai? Bahasa apa yang harus kita gunakan untuk memahami? Jawabannya adalah MATEMATIKA.
Jika kita melihat ke dalam Al-Qur’an, maka kita tidak akan terkejut atau mungkin akan mengatakan bahwa ungkapan Galilio ataupun Hawking adalah basi. Sekitar 600 tahun sebelumnya, Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan secara matematis. Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qamar ayat 49 berikut:

Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Semua yang ada di alam ini ada ukurannya, ada hitungan-hitungannya, ada rumusnya, atau ada persamaannya.
Dalam matematika, level imajinasi tidak hanya terbatas pada dimensi tiga, tetapi masih ada dimensi empat, lima, bahkan dimensi takhingga. Jadi, semakin tinggi imajinasi seseorang, maka semakin kompleks visualisasi yang dapat dibuatnya terhadap suatu simbol. Visualisasi itu sendiri masih memerlukan pemaknaan tersendiri. Pertanyaan mengenai apa yang dikehendaki simbol itu, akan berimplikasi pada pertanyaan apa yang ada di balik visualisasi itu. Pemahaman pada visualisasi pada akhirnya merupakan pemahaman pada simbol.
Sekarang kita akan melihat bagaimana kemungkinan seseorang akan memaknai dan memahami QS Al-Fajr ayat 3 sebagai berikut:
“Demi fajar, Dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil,”

Ayat diatas dapat diatfsirkan sebagai berikut: Malam yang sepuluh itu ialah malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan dan ada pula yang mengatakan sepuluh yang pertama dari bulan Muharram Termasuk di dalamnya hari Asyura. Ada pula yang mengatakan bahwa malam sepuluh itu ialah sepuluh malam pertama bulan Zulhijjah.
Sekarang kita akan melihat bagaimana kemungkinan seseorang akan memaknai dan memahami QS Al-Fajr ayat 3 sebagai berikut secara matematis geometris:
Pertama, seseorang tidak dapat membacanya. Jelas orang ini tidak dapat memahaminya. Kedua, seseorang dapat membacanya, tetapi tidak paham arti kata dalam bahasa tersebut. Orang ini juga tidak dapat memahaminya. Ketiga, seseorang dapat membacanya dan mengerti arti kata dalam bahasa tersebut. Orang ini mulai mengaitkan kata syaf’i dan watr dengan objek tertentu. Seperti pada tafsir yang telah ada, mungkin dikaitkan dengan objek nyata seperti bilangan, tanggal, dan jumlah raka’at, atau bahkan objek abstrak lainnya. Pada level imajinasi tertentu, seseorang akan menemukan visualisasi  QS Al-Fajr ayat 3 sebagai berikut.
 Visualisasi yang dibuat berbentuk segitiga sama sisi dengan angka 1 di puncak segitiga dan angka 2 bagian bawah. Visualisai ini kemudian memerlukan pemaknaan. Segitiga sama sisi tersebut dapat dipandang sebagai tanda panah yang menunjuk ke atas. Seakan panah tersebut mengatakan, dari bawah ke atas, dari 2 menuju 1, bukan dari 1 menuju 2. Pemaknaan ini sesuai dengan QS Al-Fajr ayat 3 yang menyebut genap lebih dahulu, baru yang ganjil. Mengapa genap dulu baru ganjil? Jika kemudian genap ditafsirkan “makhluk” yang diciptakan “berpasangan” dan ganjil ditafsirkan “khaliq” yang “tunggal/ganjil”, maka diperoleh makna bahwa untuk menuju yang ganjil, yang satu, yang wahid, yaitu Allah SWT maka mulailah dengan mengenal yang genap, yang berpasangan, yaitu makhluk (alam semesta dan isinya). Pemaknaan ini sesuai dengan QS Adz-Dzariyat ayat 49 yang menyatakan bahwa segala yang berpasangan adalah sarana untuk mengingat kekuasaan Allah SWT.
Bahkan dalam suatu hadits disebutkan bahwa “berpikirlah tentang ciptaan Allah SWT, jangan berpikir tentang dzat Allah SWT”. Artinya, bahwa untuk mengenal Allah SWT sarananya adalah dengan mengenal dan mempelajari ciptaan-Nya, yaitu dengan mengenal dan mempelajari alam semesta. Lalu mengapa segitiga sama sisi, bukan yang lain? Pertama perlu diingat kembali stempel kenabian Muhammad SAW yang memuat bangun segitiga sama sisi. Kedua, segitiga sama sisi menunjukkan keseimbangan dalam ukuran. Segala ciptaan Allah SWT adalah seimbang, teratur, dan disusun serapi-rapinya. Perhatikan QS Al-Mulk ayat 3:
 Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Salah satu kegiatan matematika adalah kalkulasi atau menghitung, sehingga tidak salah jika kemudian ada yang menyebut matematika adalah ilmu hitung atau ilmu al-hisab. Dalam urusan hitung menghitung ini, Allah SWT adalah ahlinya. Allah SWT sangat cepat dalam menghitung dan sangat teliti. Kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT sangat cepat dalam membuat perhitungan dan sangat teliti. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 39 disebutkan :

Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Disebutkan hal yang sama pada Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 199, Al-Baqarah ayat 202, Ar-Ra’d ayat 41, dan Al-An’am ayat 62.
            Lalu, siapa yang dapat menghitung dengan cepat kalau bukan ahli matematika? Siapa yang dapat menentukan aturan-aturan, rumus-rumus, ukuran-ukuran, dan hukum-hukum jagad raya dengan begitu telitinya kalau bukan ahli matematika? Lalu, kalau Allah SWT serba maha dalam matematika, mengapa kita tidak mau mempelajarinya? Bagaimana kita memahami alam semesta yang menggunakan bahasa matematika kalau kita tidak menguasai matematika?
Tidak ada ciptaan Allah SWT yang sia-sia, termasuk matematika. Bahkan matematika merupakan bahasa yang digunakan dalam penciptaan alam semesta. Dengan demikian, maka untuk mempelajari dan memahami ayat-ayat Kauniyah (alam semesta) maka diperlukan matematika. Pemahaman tentang alam semesta akan bermuara pada ketakjuban akan kekuasaan Allah SWT.  Selain itu, matematika juga mampu memberikan pendekatan yang lebih dalam untuk memahami ayat-ayat Qauliyah (Al-Qur’an).

…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Sciences without religion is lame
Religion without sience is blind
Albert Einstein

0 komentar:

Posting Komentar