The Important of Mathematics
Knowledge
and the
Relation with Al-Qur’an
Dalam
era global ini terjadi pergeseran paradigma dalam peradaban manusia menuju
masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge bassed society). Pergeseran
paradigma tersebut berimplikasi pada pergeseran paradigma pembangunan Negara di
dunia termasuk di Indonesia. Sains dan teknologi merupakan unsur utama dalam
kemajuan peradaban manusia menuju terbentuknya masyarakat berbasis pengetahuan.
Dalam hal ini, Sains dan teknologi yang berkembang pada saat ini membuat
manusia menjadi penguasa tunggal dijagad raya ini. Pada sebagian orang
mengatakan bahwa tidak ada kaitan sains dan teknologi itu dengan adanya
kekuasaan Tuhan. Semua proses berlangsung sesuai dengan kehendak alam.
Kehendak
alam akan berlangsung sesuai dengan prosedur yang ada, dan akan dipengaruhi
hanya oleh materi dan lingkungan. Ketika ada pertanyaan “why should the
universe work well enough to make the processes of evolution possible?”
bagi umat islam untuk menjawab persoalan ini ada suatu pegangan, yaitu
Al-Qur’an, Hadis dan kemampuan rasio, yang tidak lari dari akidah bahwa
Al-Qur’an adalah kitab yang memuat petunjuk bagi umat manusia dan yang
melahirkan Islam yang rahmatan lil’alamin. Perkembangan pengetahuan kadang-kadang membuat manusia lupa
bahwa diluar kemampuannya ada yang lebih mengetahui dan Maha Kuasa. Bagi umat
Islam kesadaran untuk memiliki iman dan bertakwa dan pentingnya sains dan
teknologi itu berkaitan erat dengan keyakinan terhadap Al-Qur’an yang telah
diwahyukan serta pemahaman mengenai kehidupan alamsemesta yang diciptakan.
Dunia
tanpa batas (worl bourderless) saat ini mengisyaratkan umat Islam harus
peka dan tanggap terhadap isu-isu aktual dan faktual yang berlangsung saat ini.
Pada hakikatnya perkembangan sains dan teknologi tidak bertentangan dengan
agama Islam. Surat al-Alaq ayat 1-5 merupakan dasar sains dan teknologi dalam
Islam. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita membaca, meneliti,
mengkaji, dan membahas dengan kemampuan intelektual. Surat ini meransang daya
kreativitas manusia untuk selalu berinovasi, mengembangkan keimanan dengan
rasio dan logika yang dimiliki manusia. Kewajiban membaca dan menulis (memperdalam
sains dengan meneliti) menjadi suatu keberhasilan suatu penelitian atas ridho
Allah.
Ada
banyak kebenaran ilmiah yang diapaparkan dalam Al-Qur’an yang bertujuan untuk
memaparkan Kebesaran Tuhan dan Ke-Esaan Tuhan, serta mendorong manusia untuk
mengadakan observasi dan penelitian dalam rangka menguatkan rasa keimananan dan
kepercayaan. Al-Quran tidak meninggalkan sedikit pun dalam memberikan
keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan pokok
Al-Qur’an yang mencakup segala ilmu pengetahuan.
Upaya
manusia untuk mendapatkan pengetahuan diawali dengan upaya memahami alam. Upaya
tersebut dimulai dengan upaya mengenali warna, bentuk, kadar yang terdapat pada
objek-objek dan makhluk-makhluk yang ditemui manusia. Bentuk awal pengetahuan
manusia tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka dapatkan dari lingkungan
hidup mereka. Manusia selalu berupaya meningkatkan pemahamannya tentang
pengetahuannya. Pemahaman yang dilakukan secara terus menerus menjadi kian
mendalam dan meluas sehingga mendorong munculnya ilmu-ilmu lain. Jika manusia
telah akrab dengan bentuk dan bilangan pada awal pemahamannya tentang alam,
maka pengertian tentang bentuk dan bilangan berasal dari alam. Dengan kata lain
manusia telah mengenal “bentuk konkret” dan “bilangan konkret”, bukan “bentuk
abstrak” dan “bilangan abstrak”.
Pengenalan
mengenani bentuk dan bilangan tersebut sangat bermanfaat untuk mencapai tahap
perkembangan intelektual mereka. Dalam hal ini manusia mampu menilai secara
universal tunggal berdasarkan banyak gagasan dari pengalaman berkaitan dengan
objek-objek yang memisahkan antara bentuk kaarakteristik dan kualitas suatu
objek. Manusia juga mencipatakan konsep—konsep yang jelas untuk bentuk dan
bilangan. Konsep-konsep ini terbentuk dari adanya objek yang telah diamati.
Berkat keinginan untuk selalu meningkatkan kemampuan dengan meneliti, mengakaji
dan membaca serta segala kreativitas yang dimiliki manusia menciptakan
bilangan-bilangan matematis dan bentuk geometrik dan memulai untuk mengkaji
lebih dalam lagi.
Ada petuah yang sangat berharga mengenai pentingnya
penguasaan bahasa, yaitu “jika ingin mengenal suatu bangsa, kuasailah
bahasanya”. Petuah ini mempunyai arti bahwa jika kita ingin mengenal,
memahami, atau bahkan berdialog dengan suatu bangsa, baik manusia maupun
binatang, maka kuasailah bahasanya. Jika kita ingin berdialog dengan orang
Inggris, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa Inggris. Jika kita ingin
berdialog dengan orang Malaysia, maka kuasailah dan gunakanlah bahasa melayu.
Jika kita ingin berdialog, mengerti, atau memahami ayat-ayat Qualiyah, yaitu
al-Qur’an, maka kuasailah bahasa Arab. Lalu, jika kita ingin berdialog,
mengerti, atau memahami ayat-ayat kauniyah, yaitu alam semesta,
jagad raya dan isinya, maka bahasa apa yang harus kita kuasai? Bahasa apa yang
harus kita gunakan untuk memahami? Jawabannya adalah MATEMATIKA.
Jika
kita melihat ke dalam Al-Qur’an, maka kita tidak akan terkejut atau mungkin
akan mengatakan bahwa ungkapan Galilio ataupun Hawking adalah basi. Sekitar 600
tahun sebelumnya, Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan
secara matematis. Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qamar ayat
49 berikut:
“Sesungguhnya
kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Semua yang ada di alam ini ada ukurannya, ada hitungan-hitungannya,
ada rumusnya, atau ada persamaannya.
Dalam matematika, level imajinasi tidak hanya
terbatas pada dimensi tiga, tetapi masih ada dimensi empat, lima, bahkan
dimensi takhingga. Jadi, semakin tinggi imajinasi seseorang, maka semakin kompleks
visualisasi yang dapat dibuatnya terhadap suatu simbol. Visualisasi itu sendiri
masih memerlukan pemaknaan tersendiri. Pertanyaan mengenai apa yang dikehendaki
simbol itu, akan berimplikasi pada pertanyaan apa yang ada di balik visualisasi
itu. Pemahaman pada visualisasi pada akhirnya merupakan pemahaman pada simbol.
Sekarang kita akan melihat bagaimana
kemungkinan seseorang akan memaknai dan memahami QS Al-Fajr ayat 3 sebagai
berikut:
“Demi fajar, Dan malam yang sepuluh. Dan yang
genap dan yang ganjil,”
Ayat diatas dapat diatfsirkan sebagai berikut: Malam yang sepuluh
itu ialah malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan dan ada pula yang
mengatakan sepuluh yang pertama dari bulan Muharram Termasuk di dalamnya hari
Asyura. Ada pula yang mengatakan bahwa malam sepuluh itu ialah sepuluh malam
pertama bulan Zulhijjah.
Sekarang kita akan melihat bagaimana
kemungkinan seseorang akan memaknai dan memahami QS Al-Fajr ayat 3 sebagai
berikut secara matematis geometris:
Pertama, seseorang tidak dapat membacanya. Jelas orang
ini tidak dapat memahaminya. Kedua, seseorang dapat membacanya, tetapi
tidak paham arti kata dalam bahasa tersebut. Orang ini juga tidak dapat
memahaminya. Ketiga, seseorang dapat membacanya dan mengerti arti kata
dalam bahasa tersebut. Orang ini mulai mengaitkan kata syaf’i dan watr
dengan objek tertentu. Seperti pada tafsir yang telah ada, mungkin dikaitkan
dengan objek nyata seperti bilangan, tanggal, dan jumlah raka’at, atau bahkan
objek abstrak lainnya. Pada level imajinasi tertentu, seseorang akan menemukan
visualisasi QS Al-Fajr ayat 3 sebagai berikut.
Visualisasi yang dibuat berbentuk
segitiga sama sisi dengan angka 1 di puncak segitiga dan angka 2 bagian bawah.
Visualisai ini kemudian memerlukan pemaknaan. Segitiga sama sisi tersebut dapat
dipandang sebagai tanda panah yang menunjuk ke atas. Seakan panah tersebut
mengatakan, dari bawah ke atas, dari 2 menuju 1, bukan dari 1 menuju 2.
Pemaknaan ini sesuai dengan QS Al-Fajr ayat 3 yang menyebut genap lebih
dahulu, baru yang ganjil. Mengapa genap dulu baru ganjil? Jika kemudian
genap ditafsirkan “makhluk” yang diciptakan “berpasangan” dan ganjil
ditafsirkan “khaliq” yang “tunggal/ganjil”, maka diperoleh makna bahwa untuk
menuju yang ganjil, yang satu, yang wahid, yaitu Allah SWT maka mulailah dengan
mengenal yang genap, yang berpasangan, yaitu makhluk (alam semesta dan isinya).
Pemaknaan ini sesuai dengan QS Adz-Dzariyat ayat 49 yang menyatakan bahwa
segala yang berpasangan adalah sarana untuk mengingat kekuasaan Allah SWT.
Bahkan dalam suatu hadits disebutkan bahwa “berpikirlah
tentang ciptaan Allah SWT, jangan berpikir tentang dzat Allah SWT”.
Artinya, bahwa untuk mengenal Allah SWT sarananya adalah dengan mengenal dan
mempelajari ciptaan-Nya, yaitu dengan mengenal dan mempelajari alam semesta.
Lalu mengapa segitiga sama sisi, bukan yang lain? Pertama perlu diingat kembali
stempel kenabian Muhammad SAW yang memuat bangun segitiga sama sisi. Kedua,
segitiga sama sisi menunjukkan keseimbangan dalam ukuran. Segala ciptaan Allah
SWT adalah seimbang, teratur, dan disusun serapi-rapinya. Perhatikan QS Al-Mulk
ayat 3:
“ Yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang?”
Salah satu kegiatan
matematika adalah kalkulasi atau menghitung, sehingga tidak salah jika kemudian
ada yang menyebut matematika adalah ilmu hitung atau ilmu al-hisab.
Dalam urusan hitung menghitung ini, Allah SWT adalah ahlinya. Allah SWT sangat
cepat dalam menghitung dan sangat teliti. Kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan bahwa Allah SWT sangat cepat dalam membuat perhitungan dan
sangat teliti. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 39 disebutkan :
”Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Disebutkan hal yang sama
pada Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 199, Al-Baqarah ayat 202, Ar-Ra’d ayat 41,
dan Al-An’am ayat 62.
Lalu, siapa yang dapat menghitung dengan cepat kalau bukan ahli matematika?
Siapa yang dapat menentukan aturan-aturan, rumus-rumus, ukuran-ukuran, dan
hukum-hukum jagad raya dengan begitu telitinya kalau bukan ahli matematika?
Lalu, kalau Allah SWT serba maha dalam matematika, mengapa kita tidak mau
mempelajarinya? Bagaimana kita memahami
alam semesta yang menggunakan bahasa matematika kalau kita tidak menguasai
matematika?
Tidak ada ciptaan Allah SWT yang sia-sia,
termasuk matematika. Bahkan matematika merupakan bahasa yang digunakan dalam
penciptaan alam semesta. Dengan demikian, maka untuk mempelajari dan memahami
ayat-ayat Kauniyah (alam semesta) maka diperlukan matematika. Pemahaman tentang
alam semesta akan bermuara pada ketakjuban akan kekuasaan Allah SWT.
Selain itu, matematika juga mampu memberikan pendekatan yang lebih dalam untuk
memahami ayat-ayat Qauliyah (Al-Qur’an).
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Sciences
without religion is lame
Religion
without sience is blind
Albert Einstein